Inpopedia, Jakarta – Enam musisi yang tergabung dalam Koalisi Pembela Insan Musik Indonesia (KLaSIKA) telah mengajukan permohonan judicial review beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menganggap ketentuan yang ada saat ini telah membatasi hak berekspresi serta hak masyarakat untuk menikmati karya musik, sekaligus menghambat perkembangan industri kreatif di Tanah Air.
Ketua Tim KLaSIKA, Fredrik J. Pinakunary, menegaskan bahwa peraturan yang berlaku saat ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para musisi, baik pencipta lagu maupun penyanyi.
Ia menyoroti Pasal 9 ayat 2 UUHC bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak diartikan bahwa setiap individu yang tidak melaksanakan hak ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 huruf f tidak harus meminta izin dari pencipta, asalkan mereka memenuhi kewajiban untuk membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK/LMKN).
Lebih lanjut, KLaSIKA juga mengungkapkan bahwa Pasal 113 ayat 2 UUHC, terutama frasa “tanpa hak dan/atau tanpa izin” dalam Pasal 9 ayat 1 huruf f, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan hak ekonomi bagi pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK/LMKN.
“Kami bertekad agar baik pencipta lagu maupun performer (penyanyi) mendapatkan perlindungan hukum dan hak yang diatur oleh undang-undang. Tim KLaSIKA tidak memihak kepada pencipta lagu atau penyanyi, tapi kami berdiri di atas kepentingan bersama,” ungkapnya. Ia mencatat bahwa saat ini seolah-olah ada dua kubu yang ‘bertarung’ di Mahkamah Konstitusi, yaitu kubu pencipta dan penyanyi, padahal keduanya adalah seniman yang seharusnya saling mendukung.
Pernyataan ini disampaikan oleh Fredrik J. Pinakunary dalam pertemuan dengan media di Jakarta Selatan pada Senin, 5 Mei 2025, didampingi oleh anggota Tim KLaSIKA, Rien Uthami dan Agusta Marzall dari T’KOOS Band. KLaSIKA mengajukan judicial review ke MK atas nama pemohon, termasuk Agusta Marzall, Silvia Saartje, dan beberapa musisi lainnya.
Fredrik juga menyoroti ketidakjelasan dalam Pasal 113 ayat 2 UUHC yang mengatur ancaman pidana maksimal 3 tahun dan denda Rp 500 juta. “Permohonan kami bukan untuk menghapuskan ketentuan pidana tersebut sepenuhnya. Kami memandang bahwa sanksi pidana adalah langkah terakhir. Jika pilihan lain sudah tidak bisa dilakukan, barulah sanksi pidana diterapkan. Namun, bagi pengguna karya yang beritikad buruk dan tidak menjalankan kewajiban pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta, sanksi pidana tersebut bisa diterapkan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hal itulah yang menjadi pembeda dengan permohonan uji materi yang diajukan oleh pihak lain. Masalah lain yang memerlukan penjelasan adalah Pasal 9 ayat 1 huruf f, serta Pasal 9 ayat 2 dan 3. “Kalau kita lihat Pasal 23, terdapat ketentuan bahwa setiap orang dapat menggunakan hak secara komersial dalam sebuah pertunjukan tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta lagu, asalkan melakukan pembayaran melalui LMK,” ujarnya.
Selanjutnya, Fredrik menekankan perlunya klarifikasi mengenai frasa ‘user’ atau pengguna dalam undang-undang tersebut.
Selama ini, kami telah melakukan banyak diskusi dengan para ahli di bidang royalti, dan dengan jelas terungkap bahwa pengguna yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengusaha atau event organizer, bukan penyanyi atau performer. Penyanyi dan pencipta lagu merupakan seniman, bukan pengguna dalam pengertian ini. Dalam konvensi aturan internasional, definisi pengguna memang merujuk pada pengusaha, bukan penyanyi, jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa setelah penyanyi membawakan lagu yang ditulis oleh pencipta atau pemegang hak cipta, tanggung jawab untuk membayar royalti berada di tangan pengusaha atau event organizer.
“Kalau ada penyanyi yang memberikan kontribusi langsung kepada pencipta, itu merupakan tindakan yang baik, sebagai ungkapan rasa terima kasih. Mereka merasa bahwa dengan menyanyikan lagu tersebut, mereka mendapatkan berkah dan ingin memberikan sesuatu sebagai imbal balik. Hal ini juga berlaku bagi penyanyi-penyanyi tribute,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa tidak semua penyanyi adalah bintang terkenal. Justru, mayoritas penyanyi yang ada adalah mereka yang tampil di kafe, hotel, atau restoran, seperti T’KOOS Band.
“Jadi, jika ada anggapan bahwa penyanyi hidup dalam kemewahan sementara pencipta lagu hidup dalam kesulitan, itu tidak sepenuhnya benar. Dari banyak diskusi yang saya lakukan, ternyata tidak semua penyanyi memiliki kesejahteraan ekonomi yang baik; banyak dari mereka yang sedang berjuang. Masyarakat perlu menyadari hal ini,” katanya.
Ia menilai bahwa ketidakjelasan regulasi dan penafsiran terkait undang-undang hak cipta menjadi salah satu masalah utama. Pencipta lagu memiliki hak untuk melarang hal-hal yang dapat menghalangi perkembangan industri kreatif di Indonesia. Terlebih lagi, jika sistem lisensi langsung diterapkan, yang dalam pandangannya, hukum positif tidak mengenal frasa “lisensi langsung” atau izin langsung dari penyanyi kepada pencipta lagu saat akan tampil.
“Kami berharap ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang memberikan penafsiran jelas, sehingga tidak ada lagi multitafsir terhadap pasal 9 ayat 2 dan pasal 113 ayat 2. Dengan demikian, para penyanyi dapat bekerja tanpa rasa takut akan digugat atau dilaporkan secara hukum karena tidak meminta izin,” tegasnya.
Sejalan dengan pernyataan Fredrik J. Pinakunary, Rien Uthami dari Tim KLaSIKA menekankan pentingnya memahami makna frasa “pertunjukan”. Ia menjelaskan, “Contohnya, saya diminta untuk menyanyikan lagu tertentu dalam sebuah acara karena permintaan dari penyelenggara. Para performer atau penyanyi dibayar berdasarkan profesionalisme mereka. ”
Selain KLaSIKA, terdapat dua pihak lainnya yang mengajukan permohonan judicial review terhadap UU Hak Cipta kepada Mahkamah Konstitusi. *