Inpopedia – Setiap pagi saat langit masih gelap, Abang Tamam sudah menyusuri lorong-lorong pasar Babelan. Tepat pukul dua dini hari, ia memulai aktivitas barunya: berburu sayuran segar untuk dijual kembali. Motor tuanya menjadi saksi bisu perjuangan lelaki yang baru tiga bulan ini beralih profesi menjadi pedagang sayur keliling.
Sebelumnya, selama lebih dari 13 tahun, Tamam dikenal sebagai penjual burung kicau. Profesi itu ia tekuni sejak masa lajang. Namun, nasib berkata lain. Dunia burung yang dulu ramai peminat, kini kian sepi. Perlahan-lahan, usahanya merugi hingga modal pun habis. “Saya bangkrut total,” ujar Tamam sambil tersenyum getir.
Di tengah keterpurukan, Tamam tidak menyerah. Kebutuhan keluarga—terutama sang istri dan buah hati yang masih kecil—mendorongnya untuk mencari jalan baru. “Saya pikir, jualan sayur itu mudah. Pasarnya jelas, dan tempat tinggal saya dekat dengan pasar,” katanya.
Pasar Babelan, tempatnya belanja, memang jadi nadi utama pergerakan sayuran di kawasan ini. Hasil panen petani lokal dibeli oleh agen-agen besar, lalu dijual kembali kepada pengecer kecil seperti Tamam. Dengan harga yang relatif terjangkau, Tamam bisa mendapatkan berbagai jenis sayur untuk dibawa keliling kampung.
Setelah belanja, sekitar pukul empat pagi, ia pulang untuk mulai mengepak dagangan. Bungkusan-bungkusan sayur ia tata rapi di motor, siap dijajakan mulai pukul enam pagi. Ia menyusuri gang-gang sempit di Kedung Jaya, menyapa pelanggan tetap, dan menawarkan sayurnya dengan senyum ramah.
“Kalau gak habis, saya jual murah. Kadang juga saya kasih ke tetangga. Tapi kalau masih banyak, ya saya kasih makan kambing,” ucapnya. Tamam memelihara 15 ekor kambing di pekarangan rumahnya, yang kini juga jadi bagian dari usaha keluarga.
Tak sedikit tantangan yang ia hadapi. Mulai dari dagangan yang tak laku, hujan yang mengguyur saat keliling, hingga motor mogok di tengah jalan. Tapi, di balik itu semua, ada rasa syukur yang terus ia rawat. “Saya masih bisa kerja halal, masih bisa beliin susu anak dari hasil keringat sendiri,” katanya sambil menatap dagangannya dengan bangga.
Kisah Tamam adalah potret nyata keteguhan dan keberanian. Di tengah tekanan ekonomi, ia tak memilih menyerah. Ia beradaptasi, bangkit, dan terus berjalan—secara harfiah dan makna. Setiap langkahnya di kampung, setiap sapaan kepada pembeli, adalah bentuk ikhtiar untuk hidup lebih baik.
“Rezeki itu nggak selalu besar, yang penting berkah dan cukup,” tutup Tamam sambil tersenyum, sebelum menyalakan motornya lagi, melanjutkan perjalanan harapan di jalanan kampung yang telah ia kenal dengan hati. (Dadan)