Inpopedia, Jakarta – Kalau kamu pecinta kopi tradisional, bukan yang sekadar estetik buat Insta Story, nama Bah Sipit pasti pernah mampir di telinga. Atau bahkan, pernah kamu seruput sambil menikmati pagi yang tenang. Tapi tahukah kamu, kopi ini bukan sekadar hitam dan pahit?
Kopi Bah Sipit bukan hanya legendaris di lidah, tapi juga dalam sejarah. Lahir dari kedai sederhana di Empang, Bogor, racikan kopi ini dulunya menemani para pejuang kemerdekaan. Ya, betul. Pejuang. Bukan content creator.
Dari Empang ke AsMEN
Kehadiran kopi ini kini makin meluas, termasuk masuk ke kalangan wartawan dan pekerja media. Salah satunya di Studio Asistensi Media Nasional (AsMEN), tempat berkumpulnya pengusaha pers dan pegiat media di Indonesia.
Dalam gelaran Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bersama LUKW FIKOM Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) pada 7–8 Agustus 2025, Bah Sipit jadi bintang di luar spotlight. Diseduh panas-panas, jadi teman setia para peserta UKW yang tengah jungkir balik menjawab soal dan simulasi wawancara.
M. Adhie Pamungkas, salah satu peserta, bahkan mengaku ‘jatuh cinta pada seduhan pertama’. “Pas di lidah,” katanya. Kopi ini bukan cuma minuman, tapi “sahabat di kala stres ujian.”
Kisah kopi ini dimulai hampir satu abad lalu, tepatnya tahun 1925. Didirikan oleh Yoe Hong Keng, keturunan Tionghoa yang bermukim di kawasan Arab, Empang—sebuah melting pot budaya di Bogor.
Nama “Bah Sipit” bukan branding agensi, tapi lekat pada penampilan fisik Yoe yang bermata sipit. Sederhana dan jujur.
Yang menarik, logo kacamata legendarisnya ternyata dirancang oleh sahabat karibnya, Muhammad bin Ahmad Balweel, seorang keturunan Arab. Kolaborasi dua budaya ini lah yang menjadikan Bah Sipit bukan sekadar kedai, tapi simbol persatuan dalam keberagaman—bahkan jauh sebelum istilah itu viral.
Kalau kamu pikir semua kopi sachet itu asli, coba cicip Bah Sipit. 100% kopi murni, tanpa perisa, tanpa filler, tanpa drama.
Biji kopinya dipetik dari kebun-kebun di Megamendung, kawasan pegunungan yang terkenal sejuk dan subur. Racikan antara Robusta yang tegas dan Arabica yang aromatik, disangrai gelap (dark roast), menciptakan rasa yang pekat, pahit mantap, dan sedikit asam di ujung lidah.
Cara penyajiannya pun fleksibel: dari gaya tubruk tradisional, V60 kekinian, sampai varian kopi botolan ready-to-drink ala anak nongkrong. Bahkan, ada juga versi Vietnam drip buat kamu yang suka gaya slow brew tapi nendang.
Kini Bah Sipit dikelola oleh generasi ketiga, Nancy Wahyuni, yang sukses merawat nilai-nilai tradisi sekaligus membuka ruang inovasi. Kedainya masih mempertahankan aura tempo dulu: etalase kayu jati, lantai ubin kolonial, dan atmosfer hangat yang bikin betah duduk lama.
Bah Sipit bukan cuma tempat ngopi, tapi juga arsip hidup sejarah kota, tempat di mana obrolan tentang perjuangan, keluarga, politik, bahkan cinta pertama pernah mengalir bersama aroma kopi.
Di tengah dunia kopi yang makin komersil dan ‘berisik’, Bah Sipit tetap tenang di jalurnya: menyeduh sejarah, budaya, dan kehangatan dalam tiap cangkir.
Masuknya Bah Sipit ke AsMEN bukan soal branding, tapi pengakuan. Bahwa kopi ini memang punya tempat—di lidah, di hati, dan di ruang-ruang yang terus bergerak menjaga nalar publik.
Karena, di balik rasa pahit kopi ini, ada cerita manis yang tak pernah usang.***