Inpopedia, Jakarta, 28 Oktober 2025 — Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) menilai kasus penggunaan jet pribadi oleh Ketua, Anggota, dan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan sekadar pelanggaran kode etik, melainkan sudah masuk ranah penyalahgunaan wewenang yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU, empat anggota KPU, serta Sekjen KPU setelah terbukti melakukan pelanggaran etik. Namun, menurut ALMI, persoalan tersebut seharusnya tidak berhenti pada aspek etik semata.
“Dalam Pasal 17 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dijelaskan ada tiga bentuk penyalahgunaan wewenang, yaitu melampaui kewenangan, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang. Ketiga larangan ini tampak dilanggar dalam penggunaan jet pribadi oleh jajaran KPU,” ujar perwakilan ALMI dalam keterangan resminya.
ALMI mengungkapkan, berdasarkan fakta persidangan, terdapat 59 kali perjalanan menggunakan jet pribadi tanpa satu pun rute yang berkaitan dengan distribusi logistik pemilu. Padahal, KPU beralasan penggunaan jet tersebut untuk monitoring logistik di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). “Nyatanya tidak ada satupun perjalanan ke wilayah 3T,” tegas ALMI.
Selain itu, dalam rapat pleno pengadaan jet pribadi, salah satu Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos, diketahui menolak pengadaan tersebut. ALMI juga menyoroti proses tender yang dianggap tidak transparan dan dimenangkan oleh perusahaan kecil yang baru berdiri dua tahun.
Lebih jauh, ALMI menilai penggunaan jet pribadi tersebut melanggar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.113/PMK.05/2012 tentang perjalanan dinas pejabat negara, yang hanya memperbolehkan pejabat setingkat menteri menggunakan kelas bisnis, sementara eselon II ke bawah wajib menggunakan kelas ekonomi.
“Konsekuensi dari pelanggaran PMK ini, KPU harus mengembalikan seluruh biaya perjalanan ke kas negara,” lanjut ALMI.
Atas dasar itu, ALMI meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang ini. Tindakan Ketua, Anggota, dan Sekjen KPU, kata ALMI, dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), karena telah menyalahi prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, seperti asas kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas.
“Sudah seharusnya penegak hukum tidak hanya berhenti di pelanggaran etik, tapi menelusuri dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara,” tutup ALMI.

















