Inpopedia, Jakarta, 6 November 2025 — Bawaslu Kota Administrasi Jakarta Timur menegaskan komitmennya memperkuat etika, integritas, dan partisipasi publik dalam pengawasan Pemilu.
Komitmen itu mengemuka dalam Forum Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu yang digelar di Hotel 101 Urban, Jakarta, Kamis (6/11).
Kegiatan tersebut menghadirkan beragam narasumber, di antaranya Tenaga Ahli DKPP RI Herdis Muhammad Husein, Anggota Bawaslu DKI Jakarta Sahroji, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno La Radi Eno. Hadir pula unsur masyarakat, akademisi, mahasiswa, organisasi kepemudaan, media, serta tokoh masyarakat dari berbagai wilayah Jakarta Timur.
Ketua Bawaslu Jakarta Timur Willem J. Wetik mengatakan, kegiatan ini menjadi momentum memperkuat kesadaran etik di jajaran pengawas Pemilu.
“Kami ingin membangun kelembagaan yang solid dan dipercaya publik. Etika, integritas, dan sinergi adalah pondasi pengawas Pemilu yang kredibel,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, La Radi Eno menegaskan bahwa pengawasan Pemilu tidak bisa hanya mengandalkan aturan hukum semata.
“Integritas dan kejujuran adalah fondasi utama. Tanpa etika, lembaga pengawas tidak akan dipercaya masyarakat,” katanya.
Ia juga menyoroti tantangan baru di era digital seperti penyebaran hoaks, tekanan politik, dan melemahnya disiplin etik di lapangan. La Radi mendorong pelatihan berkelanjutan serta sistem penghargaan bagi pengawas yang menjaga moralitas dan integritas.
Sementara itu, Herdis Muhammad Husein dari DKPP RI menyoroti masih maraknya praktik politik uang dalam setiap Pemilu.
“Politik uang itu seperti kanker stadium empat. Sulit disembuhkan kalau masyarakat tidak punya imunitas moral,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan soal penyalahgunaan mutasi pejabat daerah menjelang Pilkada, yang bisa berujung pada sanksi berat hingga diskualifikasi pasangan calon.
Dari sisi teknis pengawasan, Anggota Bawaslu DKI Jakarta Sahroji menyoroti persoalan data pemilih tetap (DPT) dan netralitas aparatur pemerintahan di tingkat RT/RW yang masih menjadi tantangan serius.
“Di Jakarta Timur saja ada sekitar 300 ribu data bermasalah. Bahkan masih banyak nama warga yang sudah meninggal tapi belum dihapus,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan pentingnya netralitas perangkat wilayah.
“Kalau mau berpolitik, silakan cuti dulu. Jangan campur jabatan pelayanan publik dengan kepentingan politik,” tegas Sahroji.
Salah satu tokoh masyarakat, Zulkarnaini, menambahkan bahwa pengawasan Pemilu harus menjadi tanggung jawab bersama.
“Kalau pengawasan dibebankan hanya ke Bawaslu kecamatan, Pemilu tak akan bersih. Masyarakat juga harus ikut mengawasi,” ujarnya.
Forum ini juga menjadi ajang penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Bawaslu Jakarta Timur dan sejumlah mitra, termasuk Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jakarta Timur, PJMI News, Media OnBerita, NU Online, serta Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUAD) Jakarta Timur. Kolaborasi ini bertujuan membangun transparansi informasi dan memperluas edukasi publik di setiap tahapan Pemilu.
Dari forum tersebut muncul satu pesan kuat: demokrasi hanya bisa bertahan bila dijaga dengan moralitas dan kejujuran.
“Etika adalah kompas demokrasi. Kalau etika mati, Pemilu hanya tinggal prosedur tanpa makna,” pungkas Herdis.***

















