Delina Marliani
Entrepreneur dan Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang
Inpopedia, Jakarta – Perwujudan Otonomi Daerah Ditinjau Dari 3 Undang-Undang yakni UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Salah satu kebijakan penting pada pemerintahan orde reformasi adalah diterapkannya otonomi daerah yang diharapkan dapat mengangkat martabat daerah dalam wujud pemberian wewenang dengan porsi besar dalam mengelola potensi dan pemasukan keuangan daerah.
Ketidakadilan distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang dilakukan rezim orde baru berakhir menjadi masalah besar dalam hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah tidak dapat berkembang secara optimal karena sistem politik dan ekonomi yang dibangun pemerintah Orde Baru sangat sentralistis.
Segala kebijakan mengenai daerah selalu diputuskan oleh pusat.
Kelangkaan legitimasi politik pemerintah pusat ini menjadi angin segar yang sangat baik bagi masyarakat di daerah untuk menuntut perubahan menyangkut hubungan Pusat-Daerah.
Ada daerah yang menuntut akses daerah yang lebih besar untuk menikmati sumber daya alam daerah melalui kebijakan otonomi daerah seluas-luasnya, namun ada juga yang menuntut perubahan bentuk negara, dari kesatuan ke federal bahkan ada yang menuntut untuk memisahkan diri menjadi negara merdeka.
Pada tahun 1998 MPR melalui Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 telah mengamanatkan kepada presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi daerah yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan Peraturan Pemerintah.
Disamping itu, kekuasaan otonomi mencakup juga kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari pelaksanaan sampai dengan evaluasi.
Sehubungan dengan pelimpahan kewenangan dari TAP MPR tersebut, sejarah ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Melalui kedua undang-undang ini, daerah diberi kesempatan luas untuk mengatur daerahnya dengan ditopang pendanaan yang lebih memadai.
Kehadiran kedua undang-undang ini seperti saudara kembar yang akan saling melengkapi dan menyempurnakan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya untuk mempersiapkan daerah di masa depan agar otonom dan mandiri tanpa ketergantungan pemerintah pusat.
Ketika suasana histeria menyambut diberlakukannya otonomi daerah, lahirlah undang-undang baru yakni UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 dan kemudian UU No 32 Tahun 2004 diganti dengan UU No.23 Tahun 2014.
Pengertian dan Konsep Dasar Otonomi Daerah
Otonomi daerah, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan otonomi daerah sebagai wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah pada hakikatnya adalah (Widjaja; 2005:35) :
Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah; penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri.
Maka hak itu dikembalikan kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan pemerintah (pusat);
Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya;
Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.
Dengan pernah berlakunya UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya, pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab.
Peran pemerintah pusat tidak sentalistik, apalagi mendominasi mereka. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentalisasi ini adalah melakukan pengawasan (supervisi), memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah (Talizidihu; 2003:23).
Pengertian otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab badan pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya sebagai manivestasi dari desentralisasi (Supian dan Indra; 2005:35).
Sebagai konsekwensi pemberian otonomi kepada daerah dalam wujud hak dan wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya baik kepada negara dan bangsa, maupun kepada masyarakat dan lingkungannya.
Jadi otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan yang ada (Talizidihu; 2003:163).
Perwujudan konsep desentralisasi pada tingkat daerah adalah otonomi daerah sehingga dengan demikian, otonomi daerah merupakan implikasi dari diterapkannya kebijakan desentralisasi dalam suatu negara.
Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif mayarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya (Koswara; 2001:26).
Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengurus dan mengatur serta mengembangkan daerahnya sesuai kepentingan dan potensi daerahnya. Kewenangan artinya keleluasaan untuk menggunakan dana baik yang berasal dari daerah sendiri maupun dari pusat sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pusat dan mengambil keputusan untuk kepentingan daerahnya, keleluasaan untuk memanfaatkan dana pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang memadai, yang didasarkan kriteria obyektif dan adil.
Berdasarkan pokok-pokok pergeseran prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah dalam kerangka reformasi, diformulasikanlah berbagai kebijakan implementasi otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diganti dengan UU No.32 dan 33 Tahun 2004 dan yang terakhir UU No. 23 Tahun 2014.
Konsep di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya pelaksanaan otonomi daerah. Terkait dengan itu, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus saling bersinergi dan bekerjasama dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan tujuan dan makna yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah.
Prinsip Urgensi Pemberian Otonomi Daerah
Prinsip pemberian otonomi kepada daerah adalah prinsip demokrasi, pemberdayaan masyarakat dan aparat serta pelayanan umum, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan keanekaragaman daerah. Pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam pengambilan keputusan yang terbaik dalam batas-batas kewenangannya untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya guna mendukung kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Hal yang mendasar dalam UU otonomi daerah adalah mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas dengan menempatkan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan pembangunan.
Prinsip pemberian otonomi kepada daerah menurut UU No.32 tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 2014 yakni 1) kewenangan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab bagi daerah kota/kabupaten serta 2) otonomi yang terbatas untuk daerah propinsi.
Untuk daerah kabupaten/kota yang dimaksudkan dengan kewenangan yang luas diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintah kecuali beberapa bidang pemerintah yang diurus pusat.
Kewenangan itu dimiliki kabupaten/kota secara utuh dan bulat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Otonomi yang nyata artinya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah tersebut.
Artinya kewenangan akan suatu urusan harus datang dari inspirasi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, sehingga dapat dimungkinkan dengan otonomi yang luas dan nyata ini, otonomi di setiap daerah otonomi bervariatif, tergantung kebutuhan dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan tanggung jawab sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan, demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI.
Dalam konteks pembangunan, desentralisasi ditujukan untuk meningkatkan pembangunan masyarakat dan pembangunan sosial demi percepatan peningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi dan otonomi diyakini dapat menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan politik yang efektif.
Desentralisasi pada akhirnya diyakini dapat menjamin penanganan variasi tuntuntan masyarakat secara tepat dan cepat (Syaukani, Affan Gafar & Ryass Rasyid; 2007:37).
Koswara mengemukakan ada empat pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi daerah kepada daerah (Koswara; 2001:72) sebagai berikut:
Dari segi politik, pemberian otonomi dipandangi untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akhirnya menimbulkan pemerintahan tirani dan totaliter serta anti demokrasi.
Dari segi demokrasi, otonomi diyakini dapat mengikutsertakan rakyat dalam proses pemerintahan sekaligus mendidik rakyat menggunakan hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Dari segi teknis organisatoris pemerintahan, otonomi dipandang sebagai cara untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien serta lebih responsible.
Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban bagi penunaian suatu tugas sebagai hal yang wajar.
Berdasarkan keempat pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa urgensi dan motivasi pemberian otonomi kepada daerah meliputi: pertama, upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Kedua, upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan. Ketiga, meningkatkan peran masyarakat dalam proses demokratisasi pemerintahan.
Kesimpulan
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Prinsip pemberian otonomi kepada daerah adalah prinsip demokrasi, pemberdayaan masyarakat dan aparat serta pelayanan umum, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan keanekaragaman daerah.
Pemeritah daerah memiliki keleluasaan dalam pengambilan keputusan yang terbaik dalam batas-batas kewenangannya untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya guna mendukung kualitas kepada masyarakat.
Hal mendasar dalam UU otonomi daerah adalah mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan pembangunan.
Kebijakan otonomi daerah, yang dimulai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 merupakan upaya optimal pemerintah untuk menghasilkan suatu rumusan terbaik tentang pemerintah daerah yang sesuai dengan harapan dari seluruh masyarakat, namun dalam implementasinya banyak faktor yang ikut mempengaruhinya. Dan untuk mendapatkan hasil yang optimal masih membutuhkan waktu dan kerja keras.
Namun kita perlu optimis bahwa paling tidak proses perubahan manajemen pemerintahan daerah yang modern sudah dimulai.
*Penulis: Delina Marliani Entrepreneur dan Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang