Inpopedia, Probolinggo – Di balik hiruk pikuk pemberitaan yang terkadang tak berimbang, berdirilah sebuah padepokan yang terus berdenyut dengan aktivitas sosial dan spiritual: Padepokan Dimas Kanjeng. Terletak di Probolinggo, Jawa Timur, tempat ini sering disalahpahami publik sebagai sebuah pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan. Padahal, sejatinya, Padepokan Dimas Kanjeng adalah sebuah tempat berkumpul, beraktivitas, dan berdoa bagi mereka yang mendambakan ketenangan serta pelayanan sosial kemasyarakatan.
Bagi sebagian orang yang hanya mengenal Dimas Kanjeng melalui pemberitaan media arus utama beberapa tahun silam, mungkin akan langsung membangun kesan negatif. Namun, bagi warga sekitar, aparat desa, dan bahkan Forkopimda setempat, keberadaan Padepokan ini justru menghadirkan denyut baru bagi kehidupan masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan.
Bukan Pesantren, Tapi Padepokan
Sebagaimana ditegaskan oleh para pengurusnya, Padepokan Dimas Kanjeng bukanlah sebuah pesantren. Tidak ada kegiatan pendidikan formal, tidak pula sistem kurikulum layaknya pondok pesantren. Yang ada hanyalah ibadah yang berjalan sebagaimana mestinya, dengan masjid yang senantiasa mengumandangkan azan lima waktu, salat berjamaah yang konsisten, dan kegiatan keagamaan yang berjalan normal. Tidak ada praktik ritual menyimpang atau aktivitas yang melenceng dari ajaran Islam. Kehidupan religius yang sederhana dan normatif menjadi bagian dari keseharian warga padepokan.
“Tidak ada yang aneh-aneh di sini. Kami salat lima waktu, puasa Ramadan, bahkan rutin menyelenggarakan pengajian bersama masyarakat sekitar,” ujar salah satu tokoh pengurus, yang telah mengabdi di padepokan lebih dari satu dekade.
Dimas Kanjeng dan Spirit Kepedulian Sosial
Masyarakat sekitar mengenal sosok Dimas Kanjeng bukan hanya dari statusnya sebagai pemimpin padepokan, tetapi dari kontribusinya yang nyata kepada lingkungan. Salah satu bentuk kepedulian yang konsisten dilakukan adalah kegiatan kurban setiap Hari Raya Idul Adha. Pada Idul Adha 1446 H yang lalu, misalnya, sebanyak 7 ekor sapi dan 13 ekor kambing disembelih dan dibagikan kepada warga kurang mampu di berbagai pelosok desa sekitar.
Pendistribusian dilakukan secara langsung oleh relawan dan pengurus padepokan. Tidak hanya menyentuh warga Probolinggo, tetapi juga menjangkau sejumlah daerah di Jawa Timur lainnya. “Setiap tahun kami salurkan daging kurban ke masyarakat, termasuk yang jauh dari jangkauan bantuan,” ujar Koordinator Lapangan Kegiatan Sosial, Mas Yanto.
Selain kurban, Padepokan Dimas Kanjeng juga kerap mengadakan kegiatan bakti sosial lain seperti pengobatan gratis, santunan anak yatim, hingga distribusi sembako pada bulan Ramadan. Semua dilakukan tanpa memandang latar belakang agama atau status sosial penerimanya.
Dukungan dan Sinergi Forkopimda
Kegiatan sosial yang dilakukan Padepokan Dimas Kanjeng tak luput dari perhatian dan dukungan Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) Kabupaten Probolinggo. Sejumlah aparat dari kepolisian, TNI, hingga tokoh pemerintah daerah kerap hadir dalam acara-acara besar yang diselenggarakan padepokan, termasuk saat perayaan Idul Adha atau pengajian akbar.
Camat setempat, dalam sebuah pernyataan resmi, menyebutkan bahwa padepokan ini justru menjadi mitra strategis dalam membantu meringankan beban masyarakat, terutama dalam konteks ekonomi pasca-pandemi.
“Saya kira apa yang dilakukan oleh pengurus padepokan ini cukup positif, selama mereka terus terbuka, transparan, dan menjaga ketertiban sosial. Kita perlu banyak tangan yang membantu pemerintah menyentuh langsung masyarakat,” ujar seorang pejabat TNI di sela kunjungannya ke lokasi.
Klarifikasi Pemberitaan Negatif
Namun sayangnya, Dimas Kanjeng dan padepokannya pernah menjadi objek dari pemberitaan negatif yang tidak semua berdasar konfirmasi. Banyak narasi yang berkembang di publik tidak disertai kroscek fakta lapangan. Hal ini tentu menyisakan luka bagi para pengikut dan keluarga besar padepokan yang merasa terusir oleh opini yang tak berimbang.
“Kami tidak anti-kritik, tapi tolong jangan beritakan sesuatu tanpa datang ke lokasi atau bertanya kepada kami. Silakan lihat sendiri bahwa di sini semua berjalan seperti biasa, tidak ada hal aneh. Kami terbuka terhadap siapa pun,” ujar salah satu tokoh perempuan di lingkungan padepokan.
Saat ini, para pengurus juga berharap media dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang adil dan berimbang, bukan sekadar mengejar sensasi atau klikbait. Mereka juga mengundang siapa pun—termasuk jurnalis independen—untuk datang, melihat langsung, dan berdialog dengan warga padepokan.
Spirit Kebersamaan dan Kesederhanaan
Tak ada kemewahan mencolok di lingkungan padepokan. Rumah-rumah para santri dan pengikut berdiri dengan sederhana. Aktivitas berjalan apa adanya, mulai dari berkebun, berdagang kecil, hingga membantu logistik dapur umum. Semangat gotong royong terasa nyata setiap hari, terlebih saat menyambut kegiatan besar seperti kurban atau Ramadan.
Padepokan juga menjadi tempat yang menenangkan bagi para lansia dan mereka yang sedang mencari ketenangan batin. Banyak yang datang bukan karena ingin “belajar agama” secara formal, tapi karena ingin merasakan suasana yang lebih tenteram dan berdoa dalam kebersamaan.
“Bagi kami, kebersamaan di sini bukan karena ikatan darah atau organisasi. Tapi karena niat yang sama untuk saling menolong, menjalankan ibadah, dan hidup sederhana,” kata seorang penghuni yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Menatap Masa Depan
Ke depan, Padepokan Dimas Kanjeng berharap dapat terus menjalankan kegiatan sosialnya secara konsisten dan bahkan berkembang. Mereka berencana membangun dapur umum permanen, ambulans gratis untuk masyarakat, dan program penguatan ekonomi lokal berbasis UMKM.
Semua itu dilakukan dengan satu semangat: memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, tanpa pretensi berlebihan, apalagi ambisi kekuasaan.
Di tengah derasnya arus informasi yang terkadang bias dan menyesatkan, kisah Padepokan Dimas Kanjeng menjadi pengingat bahwa kebenaran sejati sering kali tidak terletak pada headline, tapi pada keseharian yang tulus dan konsisten.